Morning Dew

8:23 AM

Dia adalah sahabatku. Menurut dia, hidupnya tidak sempurna, tapi menurutku masih banyak orangg yang hidup jauh dari kesempurnaan. Dia menyakiti, lalu dia tersakiti. Saat pertama kali mengenalnya, dia perempuan kecil, manja, ceria, minta semua mata melihatnya saat dia ada. Dia perempuan hebat dengan kasih sayang di sekitarnya. Dia perempuan yang berani memangkas rambut panjang hitam indahnya menjadi super pendek. Dia selalu tersenyum saat teman-teman sekelasnya menggoda dia karena di mejanya terdapat tulisan "(her name) cantik". Dia perempuan yang ikut foto-foto di atas genting bersama perempuan-perempuan lain, berkumpul bersama laki-laki di pojokan kelas saat menonton video, lari di tengah lapangan saat panas terik atau hujan gerimis ketika bermain futsal.

Meskipun kami tidak satu kelas, kami selalu bisa mengobrol saat waktu kosong. Ketika dia sedang bersama teman-teman barunya, dia tetap melihatku, mengajakku untuk ikut bergabung. Ketika dia punya pacar, dia tetap mengajakku untuk makan siang bersama.
Perlahan keceriaan itu mulai hilang dari wajahnya. Dia tidak lagi terlihat seperti perempuan manja, ceria dengan semua mata mengarah padanya dan kasih sayang di sekitarnya. Dia mulai memanjangkan rambutnya, memakai riasan di wajahnya, tersenyum hanya pada satu orang laki-laki. Dia sangat mencintainya, pernah dia berkata begitu suatu hari. Aku ikut bahagia jika dia bahagia. Dia selalu menjadi sahabatku apapun yang dia lakukan. Namun, ketika laki-laki itu tiba-tiba pergi karena sahabatku bertindak tidak sesuai kehendaknya, keceriaan itu benar-benar musnah. Badannya mungkin tidak mengurus karena stress, tapi raut wajahnya semakin suram. Dia berusaha tetap tersenyum meskipun air mata sudah berada di ujung matanya.
Ketika kami benar-benar terpisah, jarak tidak pernah benar-benar memisahkan kami. Teknologi terlalu canggih untuk itu. Saat kami bertemu, keceriaan itu seakan-akan tidak pernah mampir di wajahnya. Dia berkata, "hidup itu tidak adil. Kata-Nya akan ada pelangi setelah hujan. Ternyata yang ada hanya pohon tumbang, banjir, dan kemacetan." Dia berubah dari seseorang yang dikelilingi kasih sayang menjadi seseorang yang haus kasih sayang. Ayahnya pergi, kekasihnya pergi, kakaknya pergi, teman-temannya pergi, ibunya, meskipun ada, seakan-akan pergi.
Dia hanya punya pulpen dan secarik kertas. Dia punya impian besar. Setidaknya itu satu-satunya hal yang tidak meninggalkannya meskipun impian itu terasa semakin jauh. Impiannya untuk menjadi seorang penulis. Mungkin tidak sehebat Hemingway atau sebijak Coelho. Setiap naskah tulisan yang dia minta aku baca memiliki banyak kekurangan. Dia meminta aku untuk menuliskan semua itu untuknya, tapi dia tidak pernah memperbaiki tulisannya karena menurutnya, "memperbaiki itu lebih sulit daripada memulainya lagi dari awal".
Impian itu kadang terasa seperti ambisi. Dia ingin hidupnya sempurna meskipun dia tahu tidak ada yang sempurna. Dia ingin keceriaan itu kembali tersirat di wajahnya. Dia ingin perhatian dan kasih sayang itu kembali membanjiri hatinya. Dia ingin keberanian kembali muncul di jiwanya. Dia ingin kesempurnaan. Kadang aku hanya bisa melihat itu sebagai ambis.

You Might Also Like

0 komentar

You are welcome to write your opinion.

Popular Posts