Pernikahan Anak: Demi Seks yang Legal
Sarah Nala
Gambar oleh Fatimah Zahirah (Patty) |
Saya pernah dimarahi ketika menulis hubungan seksual menjadi hubungan suami istri. Katanya saya mempersempit hubungan suami istri menjadi hanya hubungan seksual. Setelah insiden tersebut, saya membaca berita di internet. Di berita itu tertulis kisah seorang anak perempuan yang harus putus sekolah karena akan dinikahkan. Dia menangis ketika mengucapkan perpisahan. Satu per satu murid di sekolah itu meninggalkan bangku pendidikan dan mengirimkan undangan pernikahan. Apa sebenarnya penyebab mereka terpaksa berumah tangga daripada bersekolah?
Perempuan itu berasal dari keluarga besar menengah ke bawah. Dia mencintai sekolah, tapi tak mau menjadi beban keluarga karena mencari uang itu susah. Pernikahan pun dilangsungkan. Suaminya adalah seorang pria yang umurnya jauh lebih dewasa. Di sini terlihat bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab pernikahan dini. Beban biaya hidup sebuah keluarga berkurang dengan menyerahkan anaknya kepada pria yang akan menanggungnya. Maka saat anak tersebut putus sekolah, dia kesulitan untuk mandiri secara ekonomi. Saya tidak berkata tidak mungkin, tapi kesulitan. Sedikit beruntung jika anak itu dinikahkan dengan laki-laki kaya. Apalagi jika dia satu-satunya istri. Tapi tidak semua orang yang mengalami pernikahan dini mendapat suami kaya dan menjadi istri satu-satunya. Jika ekonomi masih menjadi alasan, maka bukan tidak mungkin anak tersebut menjadi istri kedua, ketiga, keempat, atau entah keberapa. Selain menjadi korban pernikahan anak, dia pun menjadi korban poligami. Sementara itu, pernikahan anak dan poligami adalah dua praktik yang sangat merugikan perempuan di mana perempuan begitu rentan terhadap kekerasan.
Pernikahan anak mudah dilakukan karena batas usia yang terbilang rendah, terutama untuk anak perempuan. Anak perempuan diperbolehkan menikah pada usia 16 tahun dan bisa kurang dari usia tersebut jika mendapat izin. (lihat UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 7 ayat 1 dan 2) Pernikahan yang diperbolehkan pada usia sekolah menyebabkan anak yang menikah putus sekolah. Selain seharusnya anak itu masih bisa sekolah meski menikah, kehidupan bersekolah mereka sudah dicampuri dengan urusan rumah tangga. Belum lagi jika mereka hamil, lalu melahirkan. Padahal sekolah merupakan hal penting, jika bukan yang utama, untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Putus sekolah akan memungkinkan semakin meningkatnya angka kemiskinan. Selain itu, perempuan yang menikah pada usia masih sekolah akan bergantung secara ekonomi kepada suaminya. Hal tersebut akan semakin menyulitkan posisi mereka jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Mereka akan sulit, bukan tidak mungkin, untuk berpisah karena alasan ekonomi.
Bagaimana jika masalahnya bukan ekonomi, tapi karena aib, hamil di luar nikah misalnya?
Tak dapat dipungkiri, zaman sekarang, anak-anak SD pun sudah mengenal seks bebas. Beberapa waktu lalu saya melihat anak SD atau mungkin baru masuk SMP foto berdua di ranjang tampak telanjang meski tubuhnya ditutupi selimut sampai dada. Ah, paling mereka cuma telanjang lalu ciuman. Kemajuan teknologi memaksa saya untuk berbaik sangka bahwa anak-anak sudah sangat mahir. Akses kepada video seks pun dapat dengan mudah didapatkan. Di situ mereka akan melihat dan besar kemungkinan meniru. Tapi mungkin kedua anak itu hanya korban kejahatan dunia maya. Sayangnya, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak sekarang tidak terpapar seks bebas. Sewaktu saya masih SMP, saya melihat teman saya ciuman, saya mendengar teman saya berhubungan seks. Saat itu saya tidak mau ikut campur. Sekarang saya menyadari seharusnya saya mendengarkan lebih saksama. Apakah mereka melakukannya dengan aman? Atau malah teman saya itu keluar dari sekolah karena hamil? Saya tidak ingat.
Saya bukan penggemar moral, tapi saya tidak setuju dengan hubungan seksual anak-anak. Tidak adanya pendidikan seks secara formal membuat saya menyangsikan bahwa hubungan seksual anak di bawah 18 tahun tersebut dilakukan dengan aman atau bertanggung jawab. Saya lebih suka memakai frasa “seks yang bertanggung jawab” karena jika seseorang melakukan seks yang bertanggung jawab maka mereka melakukan seks aman. Karena tidak adanya pendidikan seks secara formal, banyak laki-laki, perempuan, atau lainnya, tidak mengetahui hak-hak reproduksi mereka. Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Ya, saya sangat ragu mereka paham risiko seks bebas.
Sayangnya, Mahkamah Konstitusi yang diminta meninjau ulang batas usia pernikahan anak memutuskan untuk menolak permintaan itu dengan alasan salah satunya untuk menghindari zina sehingga terjadi kehamilan di luar pernikahan. Dengan demikian, MK atau siapa pun yang berkata pernikahan anak diperbolehkan untuk menghindari zina tetap setuju anak melakukan hubungan seksual (tanpa memahami apa pun tentang itu) asal sudah mendapat payung hukum. Seolah negara sudah lelah dengan aduan perempuan yang ditinggalkan pacarnya setelah berhubungan seksual. Nikahkan saja mereka. Tapi pernikahan bukan sekadar berhubungan seksual setiap malam atau setiap jam. Pernikahan lebih daripada itu. Kesiapan ekonomi, psikologis, biologis harus dimantapkan sebelum akhirnya pernikahan itu terjadi. Jika hanya demi pemenuhan hasrat seksual, dua orang yang berzina dinikahkan, maka arti pernikahan hanya sebatas hubungan seksual. Dengan begitu, saya tidak perlu dimarahi ketika menyamakan hubungan suami istri dengan hubungan seksual.
Sebagai kesimpulan, pernikahan anak sebaiknya tidak terjadi, sebisa mungkin dihindari. Anak berhak mendapat pendidikan dan pendidikan merupakan salah satu cara untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Pendidikan seks pun, baik secara formal maupun tidak, wajib disampaikan, disebarluaskan kepada anak sebagai salah satu cara mencegah seks yang tidak bertanggung jawab sehingga menimbulkan rasa malu sampai terjadi pernikahan di bawah umur. Pendidikan yang belum selesai, kesiapan psikologis, biologis, dan ekonomi yang belum matang adalah alasan saya menolak pernikahan anak.
Foto dari irockumentary.com |
Rabu, 13
Januari 2016 menjadi malam penuh warna bagi penggemar Efek Rumah Kaca, termasuk
saya. ERK dalam konsernya yang bertajuk Konser Sinestesia berhasil memuaskan
saya. Konser yang dibagi menjadi dua sesi itu berlangsung selama 2,5 jam. Di
sesi pertama, ERK membawakan lagu-lagu dari album pertama dan kedua mereka.
Sesi pertama dibuka oleh lagu Tubuhmu
Membiru Tragis dari album kedua mereka. Tirai terbuka dan panggung yang
dibentuk kotak berlatar putih. Latar
putih itu kemudian berubah menjadi berwarna biru. Selain telinga, mata saya pun dimanjakan. Panggung yang
sederhana mendadak terasa begitu mewah oleh pancaran tata visual yang
diracik Irwan Ahmett. Dalam newsletter
yang dibagikan sebelum konser, dia berkata, “Saya membayangkan sebuah
pertunjukan yang fokus menyampaikan frekuensi suara sekaligus pengalaman visual
yang dikonstruksi melalui medium warna lewat cahaya.” Hal itu
terbukti karena sepanjang pertunjukan, warna-warna tersebut ikut menyampaikan
makna dari lagu-lagu yang dibawakan ERK.
Lagu-lagu seperti Mosi Tidak Percaya, Efek Rumah Kaca, Cinta Melulu dibawakan ERK dengan menonjolkan iringan orkestra dari Alvin Witarsa dan nyanyian penonton. Cholil dkk. meneruskan konser dengan membawakan
lagu Balerina. Setelah itu Melankolia dinyanyikan dengan penuh kelirihan. Iringan orkestra semakin menambah keindahan sekaligus menyayat hati
saya. Saya tersihir. Melankolia menjadi lagu favorit saya di sesi
pertama ini. Setelah Melankolia, Di
Udara, Menjadi Indonesia, dan Desember
berturut-turut dibawakan.
Sejak awal
saya bertanya-tanya apa Adrian, pemain bas ERK, akan mengisi panggung.
Pertanyaan saya terjawab di tengah-tengah sesi pertama. Adrian naik panggung
dan menyanyikan lagu Jangan Bakar Buku.
Laki-laki pemalu, Hujan Jangan Marah, dan
Sebelah Mata menjadi tiga lagu
terakhir di sesi pertama.
Foto dari Twitter Efek Rumah Kaca @efekrumahkaca |
Konser
diistirahatkan selama kurang lebih 15 menit. Setelah keluar untuk minum, saya
kembali duduk bersama 1.000 lebih penonton malam itu. Efek Rumah Kaca membuka sesi kedua oleh lagu dari album baru mereka Sinestesia
yaitu Merah. Kostum putih mereka pun
diganti oleh hitam. Permainan warna semakin kentara. Mengiringi lagu Merah yang merupakan gabungan dari tiga
lagu pendek Ilmu Politik, Lara di Mana
Mana, dan Ada Ada Saja, Irwan
Ahmett memenuhi panggung oleh tata visual dominan merah. Kemudian lagu Biru dinyanyikan dengan lantang.
Penonton ikut bernyanyi sepanjang lagu yang sudah diunggah sebelum album Sinestesia dirilis,
Pasar Bisa Diciptakan dan Cipta Bisa Dipasarkan. Jingga, Hijau, dan Putih selanjutnya mewarnai panggung, memenuhi telinga, menghiasi
imajinasi warna. Konser ditutup oleh lagu Kuning.
Pada lagu Kuning, lima orang
paduan suara anak berbaju putih naik ke atas panggung. Mereka ikut mengiringi
lagu Kuning yang di bagian akhirnya terdapat nyanyian rakyat Dayak berjudul Leleng.
|
|
Meski tirai itu sudah ditutup dan saya sudah meninggalkan Teater Besar,
Taman Ismail Marzuki, musik Efek Rumah Kaca dan permainan warna yang disuguhkan
malam itu masih menggema dan terekam di dalam kepala. Salah satu malam paling
mendebarkan hati setiap saya mengingatnya. Terima kasih telah memberikan sesuatu
yang pantas disimpan di dalam tabung kenangan indah saya.