Cerita Setelah Hadir Diskusi: Lost in Translation

9:19 PM


 Pada hari Minggu, 4 Oktober 2015, saya bergegas dari kamar kost saya menuju Komunitas Salihara di Jalan Salihara No. 16. Saat itu saya tidak tahu berapa lama mencapai tempat tujuan karena saya baru akan pertama kali datang ke sana. Saya menuju Stasiun Pesing naik bajaj, lalu dari Stasiun Pesing saya naik kereta menuju Stasiun Pasar Minggu. Turun di Stasiun Pasar Minggu, saya langsung naik ojeg dan dengan muka sok tahu berkata kepada Abang Ojeg untuk diantarkan ke Salihara. Perjalanan memakan waktu 1 jam 45 menit dari Kedoya ke Salihara.
Begitu tiba diskusi telah dimulai. Sebisa mungkin saya mengikutinya dan memahami apa yang telah dibahas.

Tema diskusi adalah "Lost in Translation: Proses dan Intensi Alih Bahasa". Mengutip pedoman diskusi yang saya terima, diskusi ini membahas posisi karya lokal dalam konteks internasional dan bagaimana peran penerjemahan dalam mendekatkan perbedaan budaya tersebut. Diskusi dipandu oleh seorang moderator bernama Muhammad Hilmi yang merupakan penulis dan jurnalis di whiteboardjournal.com. Pembicara diskusi tersebut adalah Yusi Avianto Pareanom, seorang penulis dan publisher yang dikenal lewat kumpulan cerpennya yang berjudul Rumah Kopi Singa Tertawa, dan Rain Chudori, seorang penulis muda yang karya-karyanya telah diterbitkan media seperti The Jakarta Post, Majalah Tempo, Jakarta Globe, juga whiteboardjournal.com.

Banyak sekali karya sastra Indonesia yang belum diterjemahkan ke dalam baik bahasa Inggris maupun bahasa Jerman menjelang Frankfurt Book Fair. Indonesia yang menjadi tamu kehormatan di sana berusaha keras mengejar target menerjemahkan karya-karya sastra terbaik. Sekitar 25 karya sastra diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maupun Jerman dalam waktu dekat. Menurut Yusi Avianto Pareanom minimnya waktu membuat hasil penerjemahan kurang maksimal. Bukan berarti tidak bagus, hanya saja bisa lebih dimaksimalkan. Meski demikian, dia berharap publik luar dapat menangkap makna yang ingin disampaikan karya sastra Indonesia. Lantas apa kriteria penerjemah yang baik menurut Yusi?
Yusi mengatakan bahwa penerjemah yang baik pada dasarnya adalah penulis yang baik. Sehingga penerjemah pun harus memiliki kemampuan menulis yang baik. Namun kesalahan pasti selalu ditemukan dalam setiap hasil penerjemahan. "Penerjemah yang andal pun kadang luput." Katanya di sela-sela diskusi. Oleh sebab itu, peran kamus sangat penting. Bukan hanya kamus yang berisi kata-kata, kamus visual pun tak kalah penting. Dalam menerjemahkan, dia selalu berusaha mempertahankan gaya penulisan penulis asli, seperti Hemingway yang tidak suka memakai koma dan lebih memilih memakai konjungsi "and, or, but, dsb." Maka setelah diterjemahkan sebisa mungkin gaya tersebut dipertahankan. Memang tidak mudah mempertahankan gaya asli penulis, ada yang bisa disiasati ada juga yang tidak. Di situlah kiranya dibutuhkan keahlian seorang penerjemah.
Lain halnya menurut Rain Chudori, selain mempertahankan gaya penulis, memasukkan unsur lokal pun dapat dilakukan untuk membuat penerjemahan lebih terlihat natural. Agar hasil terjemahan terlihat natural, sebisa mungkin jika penerjemahan dilakukan beberapa orang, hasilnya tidak terlihat seperti terbagi-bagi, sehingga makna tidak tersampaikan dan hasil tidak memuaskan. Penerjemah, menurut Rain, memiliki kemampuan untuk menjatuhkan atau mengangkat sebuah karya.
Saat ditanya mengenai pasar internasional terhadap karya sastra lokal, Yusi menjawab, "Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah." Harapan untuk menjangkau publik lebih luas pasti ada dalam setiap diri penulis. Dia melanjutkan, "Semoga sastra lokal lebih menjangkau publik luas (setelah Frankfurt Book Fair)."

Diskusi semakin menarik setelah peserta menyampaikan pendapat atau mengajukan pertanyaan. Selama diskusi berlangsung saya berharap para pembicara menyampaikan lebih banyak mengenai dunia penerjemahan. Pada diskusi ini moderator lebih banyak membahas karya sastra lokal yang telah diterjemahkan di pasar internasional serta peran pemerintah dalam menginternasionalkan sastra lokal.



NB: Untuk membela diri saya yang sering luput saat menerjemahkan, ingat kata Pak Yusi, "Penerjemah yang andal pun kadang luput." Maka, maafkanlah.

You Might Also Like

0 komentar

You are welcome to write your opinion.

Popular Posts